Juli 2020
Gadis itu menatap lekat ponselnya, jari tangannya lincah menari-nari di layar. Untuk yang ke pertama kalinya sejak sembilan belas tahun yang lalu, dirinya baru merasakan kegiatan formalnya melalui daring. Hal itu terjadi dengan tiba-tibanya, semenjak sebuah berita menggegerkan hingga seluruh negara di belahan bumi, tak terkecuali Indonesia. Pandemi, orang-orang menyebutnya demikian. Salsabila nama gadis itu, dia baru mengetahui apa itu “pandemi” dari berbagai artikel yang ia baca di internet, dan juga berita-berita yang sempat ia tonton di televisi.
Salsabila membaca dalam hati, rangkai-rangkai huruf yang terpampang di ponselnya. ‘Filsafat Islam, Pengantar Linguistik dan Filologi, Ilmu Kalam, Metodologi Studi Islam’. Satu per satu nama mata kuliah mulai bermunculan dalam deretan room chat WhatsApp-nya. Orang-orang menyebutnya dengan ‘group WA’.
Salsabila merasa seolah dirinya terberkati, seolah beberapa keberuntungan memihak kepadanya, meski tidak semuanya. Salsa, begitu teman-temannya memanggilnya. Dia ditakdirkan menjadi gadis tuli. Sama seperti gadis pada umumnya, hanya satu yang tak ia bisa, ia tidak bisa mendengar.
Kuliah? Tidak semenyeramkan itu bukan? Harus berani berbicara di depan publik, mempresentasikan sebagian dari materi kepada teman-teman kelas. Lalu, memperhatikan seksama penjelasan dosen. Sejak hari itu, Salsa tidak akan lagi bertanya banyak pada teman dekatnya, memintanya catatan penting mengenai rangkuman materi yang telah dipaparkan dosen. Salsa tidak akan lagi berbicara di depan teman-temannya dan dosennya, memaparkan materi. Salsa bisa melakukan ‘voice note’ sebagai gantinya, atau mengetiknya. Itu lebih membantu untuk seorang Salsa. Semua tahu siapa Salsa.
Sejak hari itu, semuanya akan berubah.
Agustus 2021
Rupanya sudah satu tahun berlalu, namun pandemi belum juga usai. Perkuliahannya pun masih terus berlanjut melalui daring. Tatap muka saat perkuliahan masih bisa diusahakan, melalui aplikasi google meet ataupun zoom.
“Seandainya ada aplikasi sulih suara,” ucap Salsa.
Ia memandangi laptopnya yang masih menyala. Ada dua ribu lebih jumlah kata, begitu yang terpampang di ikon sisi bawah jendela laptopnya. Perkuliahan via google meet baru saja selesai, dan seperti biasa, voice recorder di google docs membantu Salsa. Salsa biasa memanfaatkan google docs jika ada perkuliahan daring. Mengaktifkan tool voice recorder. Dia akan membaca satu per satu kata yang otomatis terketik sementara dosen memaparkan materinya.
“Andai saja, aku bisa bikin aplikasi semacam itu, yang bisa membantuku berkomunikasi dengan orang-orang di mana pun aku berada” gumam Salsa.
Pikiran Salsa menerawang jauh. Ia teringat dengan perjuangannya beberapa bulan lalu. Bagaimana agar ia bisa tetap menyimak materi dari dosen. Tidak sedikit aplikasi pengubah atau konversi suara ke teks yang ia temui, namun belum ada yang cocok untuknya. Dan pada akhirnya, harapan Salsa tertumpu pada google docs.
Rupanya masa pasca pandemi, tidak sedikit bisa ditemui sisi yang positif (menguntungkan), yang mana orang-orang tergerak untuk aktif dalam pemanfaatan teknologi modern. Hampir seluruh aktivitas manusia dibantu oleh kecanggihan teknologi, terutama ponsel yang paling menjadi teknologi mayor.
Salsa berharap, di masa-masa berjayanya teknologi seperti sekarang ini, generasi millenial mampu meciptakan sesuatu yang bisa membantu orang banyak.
Tulisan ini merupakan salah satu dari 30 karya tulis terbaik dari Lomba Menulis dalam rangka Hari Anak Nasional 2021 yang diterbitkan melalui E-book “Refleksi Harapan Anak Indonesia di Masa dan Setelah Pandemi”
Dapatkan e-book ini dengan mengakses dan mendownload di link