Inspirasi Kisah Perjuangan Orang Tua dan Anak dengan Asperger

Kali ini Yayasan Peduli Kasih ABK berkesempatan berbincang bersama sosok ibu luar biasa yang memiliki anak sindrom asperger. Beliau adalah Dr. Dra. Prima Naomi, M. T. ClQnR dan anaknya bernama Fahri. 

Dikutip dari Alodokter.com, sindrom asperger adalah gangguan neurologis atau saraf yang tegolong ke dalam gangguan spektrum autisme. Penyandang asperger cenderung kurang empati, tidak ekspresif, canggung saat berkomunikasi, dan sulit berinteraksi. 

Pada kelas diskusi #Akademiability (18/1/22), Bu Prima berbagi kisah yang semoga dapat dipetik hikmahnya oleh para orang tua ABK. 

Awal mula diagnosis Fahri

Mulanya, Bu Prima tidak mengetahui bahwa anaknya berkebutuhan khusus. Sampai saat Fahri berumur 14 tahun, ia dibawa ke psikolog untuk tes minat bakat dan hasilnya menunjukkan bahwa Fahri menyandang asperger. Padahal sebenarnya Fahri asperger sejak lahir. Ditandai dengan dia yang telat bicara dan tampak berbeda dengan anak kebanyakan termasuk adiknya yang selisih 13 bulan. Diagnosis yang didapatkan pun perlu proses yang tidak mudah, karena membutuhkan bantuan psikolog anak, dokter tumbuh kembang, dan terapis. 

Setelah mengetahui diagnosis Fahri, Bu Prima mulanya memiliki kebimbangan apakah harus memberitahu Fahri atas kondisinya atau tidak. Pada akhirnya Bu Prima memutuskan untuk memberitahu Fahri, supaya dia paham siapa dirinya. Paling tidak, ketika orang lain memberi perlakuan berbeda ia mengerti alasannya. Caranya dengan perlahan menceritakan kondisinya. Bu Prima pun memberi buku tentang asperger kepada Fahri. Usai Fahri membaca, Bu Prima bertanya tentang apa yang Fahri dapatkan dari buku tersebut. Ia pun menjawab, “Tenang, Ibu. Banyak orang asperger yang sukses.” 

Sulit berada di kelas

Saat TK, Fahri tidak mau berada di kelas dan justru ingin di UKS. Ketika Bu Prima bertanya alasannya. Fahri menjawab bahwa ia tidak suka di sekolah, karena tidak ada kasur dan mainan. Selama di TK pun ia tidak terlalu enjoy. 

Berlanjut pada saat SD. Dua minggu awal masuk sekolah, psikolog anak di sekolah mengabarkan bahwa Fahri sering keluar kelas. Psikolog tersebut menyarankan supaya Fahri disekolahkan di sekolah alam. Namun, saat Bu Prima survei sekolah alam, sekolah tersebut justru merekomendasikan Fahri ke sekolah inklusi. 

Pada akhirnya Bu Prima menyewa guru pendamping selama 8 bulan supaya Fahri dapat menjalani sekolah dengan baik. Di samping itu, Fahri juga menjalani terapi bersama ibunya. Meskipun bagi Fahri terapi itu melelahkan, tetapi terapi dapat membuatnya lebih baik. Ia merasa sangat gembira ketika diterima dengan orang lain, terutama orang tuanya. 

Bu Prima pun berpesan kepada seluruh orang tua, bahwa kita tidak bisa jika hanya mengandalkan terapi. Sebab peran utama untuk tumbuh kembang anak adalah keluarga. Sebagai dosen, Bu Prima berusaha membatasi kegiatan di kampus. Beliau hanya di kampus 2-3 hari supaya dapat meluangkan waktunya untuk Fahri. 

Dapat beradaptasi dengan lingkungan sekolah

Setelah sebelumnya Fahri cenderung tidak mau sekolah. Lambat laun Fahri dapat beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Semasa SMP dan SMA, Bu Prima menempatkan Fahri di Pesantren. Fahri yang sulit berinteraksi pun sering menyendiri. Hal tersebut bukan masalah besar bagi dirinya maupun orang lain. Sebab Fahri senang menyendiri untuk beribadah dan mengaji. 

Berlanjut pada saat kuliah. Fahri memilih jurusan Psikologi, Universitas Brawijaya. Layaknya mahasiswa baru pada umumnya, tentu ia memiliki pengalaman ospek. Ospek identik dengan suasana yang ramai. Fahri yang merasa jenuh dengan suasana tersebut, dapat bertindak dengan baik. Ia izin ke toilet untuk mencari tempat menyendiri. 

Mampu dan senang menghafal Alquran

Fahri memiliki kebiasaan mengaji dan ia juga gemar menghafal Alquran. Tentu hal tersebut tidak serta-merta hadir dalam dirinya. Bahkan asperger sebetulnya memiliki memori yang kurang. Namun, pada saat SD Fahri diharuskan menghafalkan Alquran.

Bu Prima pun memiliki ide untuk membantu Fahri menghafal. Bu Prima menempelkan surat yang harus di hafal di kamar Fahri. Kemudian membacakannya setiap kali akan tidur seraya tangan beliau menepuk-nepuk ringan paha Fahri. Alhasil, proses Bu Prima dalam membacakan surat Alquran secara berulang menjadi situasi yang menyenangkan bagi Fahri. Jadi, meskipun Fahri kesulitan dalam menghafal, tidak paham bahasa arab, dan tidak senang materi hafalan. Namun ia senang menghafal Alquran karena memiliki situasi yang menyenangkan.

Kini Fahri telah menjadi sarjana psikologi Universitas Brawijaya. Ia memiliki visi-misi untuk membantu anak-anak yang seperti dirinya. Kita dapat membaca lebih lengkap kisah Fahri dan Bu Prima pada buku “Lantun Tiga Derau”. Buku tersebut memberikan kita dua perspektif berbeda antara ibu dan anak yang saling menguatkan.

Penulis: Hayah Nisrinaf

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×