Kisah dan Tips Inspiratif Ibu Nur Afifah dalam Mengoptimalkan Bakat Anak Tunanetra

Nur Afifah, seorang ibu yang memiliki anak tunanetra sukses di dunia musik. Anak tersebut bernama Zizi Raziq (13 tahun). Dalam penemuan bakat Zizi di dunia musik, Bu Afifah memiliki jalan yang tidak begitu mudah. Beliau melalui 6 fase sejak mengetahui bahwa Zizi terlahir tunanetra. (1) Fase kesedihan. (2) Fase penyangkalan. (3) Fase amarah. (4) Fase tawar menawar, yaitu munculnya pertanyaan “Kenapa bukan saya? Kenapa anak saya?” (5) Fase depresi selama 3 tahun. (6) Fase penerimaan, yaitu pada saat Zizi berumur 3 tahun. Fase keenam akhirnya didapatkan Bu Afifah setelah melalui kelima fase sebelumnya. Memang menjadi hal yang berat. Namun ketika berada pada fase penerimaan, Bu Afifah bertekad membersamai Zizi dan menuntunnya mencapai kesuksesan. 

Pada kelas diskusi #Akademiability Sabtu (8/1/22), Bu Afifah berbagi kisahnya dalam membersamai Zizi yang dapat disimak dalam artikel berikut ini. 

Awal mula kenal alat musik

Pada fase penerimaan kondisi Zizi, Bu Afifah mencari informasi dari internet. Beliau menemukan suatu pernyataan, bahwa tunanetra sangat pandai dalam bidang seni. Waktu itupun Bu Afifah belum tahu apakah Zizi menyukai musik. Namun Bu Afifah mencoba memancing ketertarikan Zizi dengan menyediakan mainan-mainan alat musik, seperti piano, gitar, dan angklung. Mainan-mainan tersebut diletakkan di depan kamar mandi Zizi yang juga dekat dengan kamar mandi. Jadi, ketika Zizi ingin ke kamar mandi, alat musik itu akan ditabrak dan berbunyi, sehingga Zizi akan terpancing untuk membunyikannya. 

Setelah memancing melalui alat musik mainan, Bu Afifah melihat alat musik apa yang paling gemar dibunyikan Zizi. Alat musik tersebut ternyata adalah piano. Kemudian Zizi dicoba perdengarkan sebuah lagu. Dan tanpa guru, anak tunanetra tersebut bisa menirukan lagu yang dia dengar. 

Mengikuti berbagai kompetisi

Saat Zizi usia 5 tahun, Bu Afifah memberanikan diri untuk mengikutkan Zizi pada sebuah kompetisi. Tentunya ia tidak menang, karena tidak tahu notasi dan suaranya belum bagus. Namun, siapa sangka bahwa dari mengikuti kompetisi tersebut Zizi menemukan pintu terang masa depannya. Bu Afifah bertemu dengan seorang mentor, dan mentor tersebut meminta Bu Afifah supaya Zizi dibelikan piano yang real, karena zizi punya potensi besar di piano. Akhirnya Bu Afifah pun membelikan Zizi piano klasik. 

Lanjut pada saat Zizi usia 7 tahun, ia masih belum memiliki guru piano karena tidak ada sekolah ataupun guru yang bisa mengajar piano untuk anak tunanetra. Namun, Bu Afifah tidak menyerah. Beliau justru mencari peluang emas untuk Zizi. 

Bu Afifah menemukan ada kompetisi piano berskala internasional untuk anak melihat. Kemudian Bu Afifah mencoba email mentor yang sebelumnya menyarankan Zizi memiliki piano real. Beliau izin supaya kompetisi tersebut memberikan panggung kepada zizi untuk tampil. Permintaan izin tersebut juga menampilkan video Zizi bermain piano. Pada akhirnya, Zizi diizinkan tampil bukan sebagai peserta kompetisi. Usai acara tersebut, Zizi mendapatkan guru sekaligus beasiswa belajar piano. 

Pesan Bu Afifah pada para orang tua disabilitas, “harus ditanamkan juga bahwa mengikuti kompetisi bukanlah untuk juara. Tapi nikmati prosesnya dan belajar. Kalau tidak juara, berarti harus dicari tahu kesalahannya apa.” Dengan mengikuti kompetisi, kita akan belajar dari trial and error. Sekalipun kompetisi tersebut untuk anak umum, tapi tidak ada salahnya minta izin terlebih dahulu untuk mengikutinya. 

Adapun kendala yang sering kali dialami para orang tua disabilitas, yaitu menemukan guru. Namun, seperti pengalaman Bu Afifah bahwa mencari guru pun bisa melalui kompetisi. Beliau mengakui bahwa mencari guru untuk disabilitas amatlah sulit. Kesempatan untuk mereka pun sangat kecil. Jadi orang tua yang harus mencari kesempatan dari mana saja tanpa rasa takut dan malu. 

Menjadi pianis profesional

Awal mula menjadi pianis profesional, Zizi tidak mendapatkan fee sama sekali. Kemudian ia pernah dibayar 1 gelas air putih kemasan dan 1 bungkus roti. Hal tersebut bukanlah masalah bagi Bu Afifah dan Zizi, karena yang penting kemampuan Zizi dilihat oleh banyak orang. Hingga pada suatu ketika, ada orang Italia yang mengundang Zizi untuk membuka Asian Para Games 2018. Sebelum undangan tersebut bahkan Indonesia belum begitu mengenal Zizi. Namun, berkat tampil di Asian Para Games, Zizi lebih dikenal dan mendapat kontrak kerja oleh Aquarius Musikindo–label musik Indonesia yang 1 management dengan musisi ternama. 

Selain menjadi ibu, Bu Afifah merangkap menjadi manajer, make up, hingga fotografer Zizi. Kebersamaan dengan anak sangatlah penting. Prinsip yang dipegang Bu Afifah adalah takut mati sebelum Zizi. Maka beliau memanfaatkan hidup selama masih sehat. Beliau mengumpulkan kekuatan supaya anaknya bisa berdiri sendiri dengan memiliki ilmu yang bagus dan finansial yang bagus. 

Penulis: Hayah Nisrinaf

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×