Peran Media Massa Terhadap Aksesibilitas dan Kesetaraan ABK

Yayasan Peduli Kasih ABK mengundang IGAK Satrya Wibawa, Ph.D sebagai narasumber pada kelas diskusi #Akademiability pada Senin, (6/12/21). Beliau sebagai akademisi dan pengamat media massa mengungkapkan banyak hal terkait peran media massa terhadap disabilitas. Bersama dr. Sawitri Retno Hadiati sebagai Ketua Yayasan Peduli Kasih ABK, diskusi ini diharapkan dapat memantik semakin banyak masyarakat yang peduli kepada ABK. 

Kunci dari diskusi ini yaitu, jembatan antara masyarakat dengan disabilitas termasuk ABK dapat melalui media. Maka di awal diskusi Pak IGAK menyatakan, salah satu tugas media adalah memberikan tempat kepada mereka yang tidak memiliki tempat untuk bersuara. Disabilitas juga termasuk dalam kategori mereka yang tidak memiliki tempat. Maka disabilitas membutuhkan peran media supaya suara mereka didengar masyarakat. Sejauh ini, peran media terhadap disabilitas dapat dibedakan menjadi tiga tipe. 

Pertama, media yang tidak mau tahu dengan kehadiran disabilitas. Media ini cenderung tidak pernah mengangkat isu disabilitas. Kedua, media yang memang kurang tahu dengan keberadaan atau informasi terkait disabilitas. Tipe media kedua ini menjadi peran aktivis atau pemerhati disabilitas untuk membantu media menemukan informasi terkait disabilitas. Ketiga, media yang memiliki porsi pemberitaan mengenai disabilitas tetapi tidak begitu banyak. Alasan dari media ketiga ini yaitu, media merupakan entitas bisnis dan memiliki kepentingan internal. 

Dari ketiga tipe media, yang paling sering dijumpai adalah tipe kedua. Di samping itu, media juga merasa belum memahami bagaimana menempatkan pembahasan disabilitas pada porsi yang tepat. Mereka ingin turut membantu menyuarakan, tetapi belum paham betul apa yang harus dilakukan.

Maka dr. Sawitri mengungkapkan bahwa media sebetulnya adalah tools dan bergantung operatornya. Media dapat digunakan oleh organisasi penyandang disabilitas untuk melakukan sosialisasi. Terkait dengan itu, perlu diperhatikan bagaimana organisasi yang menaungi disabilitas dapat menggunakan media dengan sebijak mungkin. Bantuan dari media diharapkan dapat meminimalisir hambatan-hambatan disabilitas sekaligus pikiran-pikiran masyarakat yang terbatas. 

Selanjutnya, terdapat kunci untuk membantu para disabilitas termasuk ABK adalah dengan mewujudkan kepentingan terbaik anak dan menghargai mereka. Contoh yang dilakukan YPKABK membantu anak untuk bersuara, yaitu dengan menggelar kelas diskusi #Akademiability secara rutin. Pada beberapa kesempatan acara tersebut, ABK yang sudah lancar baca dan bisa berbicara akan turut mengisi diskusi. Adapun mereka yang bisa berdiskusi 2 arah dapat menyuarakan pendapatnya. 

“Kita harus bisa menghargai mereka. Apapun pasti ada manfaat dari setiap makhluk. Tidak ada anak yang bodoh. Yang ada hanya belum tahu cara mengajarkan dan menghadapi perilakunya.” Tegas dr. Sawitri. 

Terkait dengan bagaimana menghadapi para disabilitas, dapat dilihat dari adanya proses inklusivitas. Sesuai dengan yang dipaparkan Pak IGAK, “proses inklusivitas menunjukkan sebaik mungkin bahwa sebenarnya disabilitas tidak menginginkan untuk diistimewakan. Tapi diperlakukan secara wajar. Wajar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki.”

Sebagai dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unair dan bergerak di bidang visual, Pak IGAK juga menerangkan bahwa film Hollywood yang mengangkat isu disabilitas dapat menjembatani antara disabilitas dengan non disabilitas. Pasalnya, referensi film tersebut berasal dari kehidupan sosial. Salah satu pembelajaran yang diberikan yakni supaya para disabilitas dapat berinteraksi secara langsung dengan seluruh masyarakat. 

Persoalan mengangkat isu disabilitas ini berarti tidak mustahil untuk  dilakukan oleh pelaku seni. Jika pelaku seni ingin melakukannya, maka harus bergaul langsung dengan para disabilitas. Jangan memandang dari “sudut pandang helikopter” atau hanya dari kejauhan. Justru bergaul secara langsung dapat menjadikan pelaku seni tersebut memahami disabilitas lebih jauh. Hal ini akan berdampak baik pada karya yang dihasilkan supaya tidak salah konstruksi. Tidak terlepas juga dengan media yang ingin mengangkat isu disabilitas. Media juga harus bergaul dan terjun langsung dengan para disabilitas. 

Bersambung pada kutipan dari dr. Sawitri, “Dunia ABK ini sangat kompleks permasalahannya. Mari kita menghargai kondisi anak. Semua orang punya ketidaksehatan masing-masing. Kita semua juga berisiko menjadi disabilitas. Misal karena kecelakaan, polutan, stres, dan lain lain. Jadi, mari menghargai dan saling bantu. Jika kita membantu ABK atau disabilitas, itu juga membantu diri kita sendiri supaya kita semua bisa sejahtera.”

Diskusi ditutup dengan kutipan dari Christine Ayu, wartawan Tribun Jatim Network selaku pembawa acara kelas diskusi Senin, (6/12/21). “Kita semua sama. Saat ini, adalah era keterbukaan di mana ABK dan penyandang disabilitas memiliki kesetaraan dan aksesibilitas yang sama seperti orang pada umumnya. Hal ini tentu tidak lepas dari adanya dukungan berbagai faktor, salah satunya yakni media massa. Media massa berperan terhadap kesejahteraan ABK.” (NAF). 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×