Mengubah Stigma Masyarakat untuk Meningkatkan Kualitas ABK

Stigma terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) seakan sudah mendarah daging. Stigma tersebut pun sulit dihilangkan, karena stigma timbul dari budaya yang sudah tertanam di masyarakat. Meskipun stigma tidak dapat dihilangkan, tetapi stigma tetap dapat diubah. Dengan mengubah stigma masyarakat, kualitas ABK pun dapat meningkat.

Berdiskusi dengan Arita Fitria atau akrab disapa Kae, seorang terapis dan Content Specialist Konekin (28/09/2021) kami menyajikan rangkuman dari bagaimana menghilangkan stigma ABK untuk sekaligus dapat meningkatkan kualitas ABK. Mula-mula perlu diketahui, contoh stigma terhadap ABK yang sudah merambah di masyarakat adalah bahwa ABK tidak dapat melakukan apapun, ABK hanyalah beban keluarga dan masyarakat, ABK tidak berguna, serta lain sebagainya. Sementara beragam stigma tersebut timbul dari harapan masyarakat yang membandingkan dengan anak pada umumnya terutama yang mahir di akademik. Padahal masih ada banyak hal yang sebetulnya dapat dilakukan ABK. Masyarakat yang memberikan stigma tersebut pun sebetulnya hanya butuh informasi dan pembuktian bahwa ABK sebetulnya sama dengan anak-anak pada umumnya. 

Peningkatan kualitas ABK dapat dengan memanfaatkan disiplin ilmu. Dengan disiplin ilmu yang dilakukan, mula-mula ABK dapat dilatih untuk menjadi mandiri dan mampu bersosialisasi. Pada tahap ini, tingkat kualitas anak sudah terlihat dan layak diapresiasi. Selanjutnya dapat ditingkatkan lagi dengan disiplin ilmu yang lain, yaitu mengajarkannya berbagai keterampilan seperti melukis, kriya, menari, menulis, dan banyak lainnya

Dapat dikatakan bahwa keterampilan anak tidak harus dipacu pada kemampuan akademik saja. Namun, dapat diprioritaskan pada kebutuhan yang dimiliki. Sebab setiap anak memiliki kebutuhan dan kreativitas masing-masing. Orang tua harus kooperatif dalam membersamai ABK supaya mengetahui kemampuan ABK. Bagian terpenting yang tidak dapat dilewatkan adalah janganlah orang tua pesimis terhadap ABK. Apabila orang tuanya saja pesimis, maka orang tua tersebut membenarkan stigma terhadap ABK yang menyebar di masyarakat. 

Tidak hanya orang tua, tetapi guru, terapis, dan orang-orang yang berpengaruh pada ABK pun harus percaya bahwa ABK memiliki kemampuan yang tidak dapat diremehkan. Kualitas ABK dapat terus berkembang dengan baik apabila orang-orang di sekitar ABK sekaligus ABK-nya sendiri dapat disiplin, konsisten, dan kooperatif. Terkadang orang tua dan keluarga dekat ABK justru yang kurang disiplin dan kooperatif. Contoh pada saat ABK menjalankan suatu program yang harus dijalankan di rumah, orang tua tidak disiplin menjalankannya. Entah dengan dalih tidak tega atau tidak sempat. Maka disarankan pada orang tua dengan anak ABK, supaya terdapat salah satu dari orang tua untuk intens merawat anak. Sebab kebanyakan orang tua hanya bergantung pada sekolah dan terapis. Padahal peran orang tua sangatlah penting untuk tumbuh kembang anak. 

Jadi, jika ingin mengubah stigma ABK untuk sekaligus meningkatkan kualitas ABK, diperlukan kerja sama dari banyak pihak. Para masyarakat perlu mengetahui bahwa ABK juga mampu melakukan banyak hal. Mereka bisa memiliki banyak keterampilan yang artinya mereka bukanlah beban masyarakat. Di samping itu, peran orang tua tetaplah yang terpenting dalam membersamai ABK. (NAF)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×