Aku masih sibuk menata kumpulan balok huruf di atas meja, hingga aku melihat wajah murung Dio, anak kecil paling tegar yang pernah kutemui selama satu tahun terakhir menjadi guru les privat bahasa Inggris. Entah kenapa sore ini ia tidak begitu bersemangat, kedua tangannya menggenggam erat pinggiran kursi, sorot matanya penuh kehampaan. Raganya berada tepat di hadapanku, namun aku tahu pikirannya
sedang tidak bersamaku, bahkan tidak di rumah ini. Aku menghentikan lamunannya ketika semua media belajarku siap. Ia menoleh, memandangi wajahku, kemudian tersenyum menandakan ia siap mengikuti pelajaran hari ini.
“Kak, kapan ya aku bisa pergi ke sekolah lagi diantar papa?” Baru saja aku mulai menginstruksikan untuk menemukan huruf dari kumpulan balok huruf di atas meja, suara lirih itu mengagetkanku.
“Engg~ kakak juga belum tau, Dio. Mari kita doakan pandemi ini cepat selesai ya, biar kamu bisa ke sekolah lagi.”
“Tadi aku melihat seragam sekolahku di lemari. Lipatannya rapi sekali, tidak pernah kupakai dari setahun yang lalu. Itu juga hasil setrika mama.”
Dio terdiam beberapa saat. Tatapannya kembali hampa, pikirannya kembali melayang jauh menembus cakrawala. Tiba-tiba ia menggeser tempat duduknya ke belakang, tangan kanan ia pakai untuk menopang berat badannya yang jatuh ke lantai dengan memegang pinggiran meja. Ia berlari ke arahku, membenamkan kepalanya dalam pelukanku. Beberapa saat kemudian kusadari pakaianku basah oleh linang air mata. Ia menangis, begitu keras hingga isaknya menggema di seluruh ruang tamu. Sudah enam bulan yang lalu aku menjadi guru les privatnya, dan hari ini kali pertamaku melihat Dio sesedih ini.
Kubiarkan ia hanyut sejenak dalam kesedihan, meluapkan segala emosi yang selama ini ia simpan dalam sudut hatinya paling dalam. Emosi yang coba ia kunci rapat-rapat. Tanpa kusadari, air mataku menetes melewati pipi hingga jatuh tepat di atas kepalanya. Ia mendongak ke arahku, wajahnya memerah dengan air mata yang membasahi sekujur wajah.
“Dio tidak boleh sedih.” Kuusap air mata yang menggenang di matanya dengan tanganku.
“Kakak juga tidak boleh ikut sedih, Dio minta maaf kalau Dio buat kakak jadi sedih” Sanggahnya dengan sedikit terbata-bata.
“Kakak udah nggak sedih lagi. Dio juga ya, udahan sedihnya. Gimana kalau kita kirim permintaan ke Tuhan? Tuhan itu baik lho, Dia pasti mau dengerin sama ngabulin permintaan kita.” Kataku sambil mengusap air mataku sendiri.
Aku menggeser tempat dudukku hingga tepat di sebelah tempat duduknya. Kukeluarkan dua kertas kosong dari dalam tas, kemudian memintanya untuk menulis permohonan apapun yang ingin diwujudkan Tuhan untuknya.
Tuhan, semoga korona segera hilang, semoga orang lain tidak ditinggal pergi mama mereka. Aku rindu mama, tapi kata ayah mama baik-baik saja tinggal bersama-Mu. Aku mau pergi ke sekolah lagi dengan seragam yang mama setrika untukku.
Sekali lagi aku tersentuh, air mata yang coba mengalir terus kubendung. Aku merasa tidak pantas menggantikannya menangis, sementara ia menulis kata-kata itu dengan tulus. Kami melipat kertas harapan dengan hati-hati, membentuk sebuah pesawat yang siap menghantarkan harapan kami ke Tuhan. Kami menerbangkannya dari jendela ruang tamu, terbang menyusuri kilau emas langit di sore hari. Pesawat kami terbang tinggi.
Tulisan ini merupakan salah satu dari 30 karya tulis terbaik dari Lomba Menulis dalam rangka Hari Anak Nasional 2021 yang diterbitkan melalui E-book “Refleksi Harapan Anak Indonesia di Masa dan Setelah Pandemi”
Dapatkan e-book ini dengan mengakses dan mendownload di link