Membumikan Bahasa Isyarat untuk Kesejahteraan Anak Tuli

Mengapa menggunakan istilah tuli dan bukan tunarungu? Ketika membaca judul artikel ini mungkin banyak yang bertanya-tanya perihal pemilihan kata pada judul. Laura Lesmana Waluyo, perempuan tuli yang kini menjadi ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) mengungkapkan bahwa kata “tuli” muncul antara tahun 1930 sampai 1960. Pada tahun tersebut pun bahasa isyarat sudah menjadi komunikasi bagi orang tuli. Lalu, ketika Laura bertemu dengan tuli senior, mereka sebetulnya lebih nyaman disebut tuli dan tidak mengenal istilah tunarungu. Istilah tersebut sebenarnya berasal dari orang yang tidak memiliki gangguan pendengaran atau orang dengar. 

Perlu diketahui juga, bahwa tuli memiliki korelasi dengan budaya bahasa isyarat. Artinya, komunitas tuli atau anak-anak tuli biasa menggunakan bahasa isyarat yang disebut juga dengan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Sebab, bahasa isyarat sejatinya merupakan solusi utama bagi anak-anak tuli untuk dapat berkomunikasi dengan baik.

Adapun saran dari medis untuk menggunakan Alat Bantu Dengar (ABD). Namun, alat ini ternyata tidak berperan banyak terhadap pendengaran para anak tuli. Banyak anak tuli yang kurang nyaman ketika memakai ABD. Mereka cenderung merasa berisik dan pusing, karena banyak suara yang masuk. Jadi, memilih lebih baik tidak menggunakan ABD meskipun memilikinya. Terlebih ABD yang sebetulnya tetap saja tidak memberi bantuan signifikan terhadap pendengaran anak tuli, karena tetap saja tidak dapat mendengar ucapan dengan baik. 

Laura berada di keluarga besar yang juga tuli, memiliki pengalaman dari ayahnya. Ketika beliau menggunakan ABD dan berkumpul dengan orang-orang dengar untuk saling mengobrol, beliau tetap saja tidak mendengar ucapan dari orang dengar tersebut. ABD cenderung hanya membantu mendengarkan asal suara. Contoh suara datang dari depan, belakang, samping, suara ketukan pintu, dan lain sebagainya. “ABD bukanlah sebuah solusi bagi anak-anak dan orang tua tuli. Sekalipun ABD mahal. Sekalipun juga digunakan sejak kecil.” Laura menekankan dengan bahasa isyarat yang diterjemahkan oleh salah satu Juru Bahasa Isyarat Pusbisindo. 

Dalam proses membumikan bahasa isyarat untuk anak tuli ini, siapa saja dapat berkontribusi. Memang yang diutamakan adalah mereka yang memiliki interaksi langsung dengan anak tuli. Namun, sejatinya siapa saja dapat belajar bahasa isyarat. Bagi orang umum atau orang dengar, belajar bahasa isyarat dapat dengan mengikuti kelas dari Pusbisindo. 

Pesan dari Laura pada kelas diskusi yang diselenggarakan Yayasan Peduli Kasih ABK Kamis, (26/08/2021) adalah supaya kita semua selalu mendukung anak-anak tuli dengan memahami kemauan atau maksud dari mereka. Dengan begitu, kita semua baik orang dengar maupun orang tuli dapat sama-sama belajar. (NAF).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×