Inspirasi Katarsis dengan Melukis dari Hana Madness

Hana Alfikih atau seniman yang memiliki nama panggung Hana Madness menjadi narasumber pada kelas diskusi rutin yang diselenggarakan Yayasan Peduli Kasih ABK, Rabu (18/8/2021). Hana dikenal sebagai seniman doodle yang mengidap bipolar. Identitasnya memberikan keunikan tersendiri yang dapat memotivasi dan menginspirasi banyak orang. Mulai dari disabilitas mental, fisik, hingga orang biasa. 

Yayasan Peduli Kasih ABK, mengundang Hana untuk memberikan inspirasi kepada para ABK dan masyarakat umum bahwasannya katarsis dapat dilakukan dengan melukis. Selayaknya perempuan kelahiran 1992 tersebut yang sudah menuangkan katarsis di bidang seni lukis sejak SMP, karena latar belakang mental yang dimilikinya. Masa kecil, ia kerap mengalami kekerasan verbal, fisik, dan pelecehan seksual. Dari situlah Hana mulai menunjukkan perilaku merusak diri hingga keinginan untuk bunuh diri. Ia sering merasakan halusinasi, delusi, depresi, dan susah tidur. Sampai akhirnya Hana menemukan kenyamanan luar biasa ketika menuangkan perasaannya kepada buku gambar. Ia merasa buku gambar tidak memberikan justifikasi apapun pada kemarahannya.

“Banyak studi yang menyatakan, seni bermanfaat sebagai teknik menunjang mengatasi permasalahan disabilitas.” Ungkap Hana ketika memaparkan terapi untuk disabilitas menggunakan media seni. Pembahasan seni pada hal tersebut artinya bukan soal keterampilan. Namun, bagaimana dengan adanya seni, seseorang dapat menuangkan dan mengetahui perasaan yang dimilikinya. Banyak pula manfaat dari katarsis dengan melukis khususnya bagi penyandang disabilitas mental. Dengan katarsis seseorang dapat mengelola perilaku, memproses perasaan, mengurangi stres dan kecemasan, serta meningkatkan harga diri. 

Evita Dianasari, orang tua ABK tertarik dengan berbagai manfaat katarsis dengan melukis yang dipaparkan Hana. Beliau pun bertanya kepada narasumber yang sejak awal hingga akhir acara selalu memberikan pemaparan teramat ramah. “Bagaimana langkah awal supaya anak bisa diajak menggambar?” 

Hana pun menyarankan kepada Evita dan para orang tua ABK atau peserta lain yang hadir di forum daring tersebut, bahwa langkah awal adalah memberikan fasilitas kepada anak. Fasilitas dapat dengan peralatan sederhana seperti kertas dan pensil. Kemudian orang tua mendiktekan anak supaya dapat menggambar hal-hal yang mudah dan disenangi anak. Tidak lupa berikan energi positif kepada anak, tidak perlu takut gambarannya buruk, dan berikan kesabaran yang luar biasa. 

Diskusi dilanjutkan dengan pertanyaan dari salah satu peserta bernama Alan. Ia bercerita merasakan halusinasi yang mengganggu keseharian, produktivitas, hingga waktu tidurnya. Namun, ia merasa halusinasinya tidak begitu bagus atau pantas jika dikatarsiskan. Maka Alan meminta motivasi atau cara supaya dapat melakukan katarsis dari gangguan yang ia miliki.

Saran dari Hana adalah supaya peserta tersebut atau seseorang yang juga merasakan hal serupa dapat bereksplorasi lebih luas. Banyak hal di sekitar yang dapat dimanfaatkan dan dijadikan media seni sebagai katarsis. Contoh membuat kolase dengan kertas atau majalah bekas, mencoret-coret kardus, dan banyak cara lainnya. Terakhir, Hana berpesan kepada seluruh peserta supaya lebih waspada terkait kesehatan mental masing-masing. “Ketika halusinasi, delusi, euforia, sudah mengganggu fungsi diri, adalah pertanda harus menemui psikologi atau psikiater … Jika gangguan kita abaikan dan biarkan terlalu lama, maka akan memberikan persentase yang semakin tinggi. Bukan berarti lemah ketika datang ke profesional. Melainkan bentuk perjuangan kita sendiri untuk menghargai diri kita supaya bisa mendapatkan treatment yang propper,” pungkas Hana. (NAF).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×